Jakarta, 15 Oktober 2025 — Tayangan program Xpose di stasiun televisi Trans7 terus menuai kritik tajam. Setelah sebelumnya Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) menyampaikan kecaman keras, kini sejumlah pondok pesantren di berbagai daerah juga turut bersuara, menilai tayangan tersebut melecehkan marwah dunia pesantren dan para ulama.
Bendahara Umum PB SEMMI, Achmad Donny, menyebut bahwa tayangan itu tidak mencerminkan nilai jurnalistik yang sehat dan justru memperburuk citra pesantren di mata publik.
“Kami menyesalkan media sebesar Trans7 bisa menyiarkan konten yang menggambarkan kehidupan pesantren secara salah kaprah, tanpa riset mendalam, dan seolah merendahkan nilai-nilai santri dan ulama,” ujar Donny.
Ia menegaskan bahwa pesantren adalah pilar penting pendidikan di Indonesia, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. “Pesantren telah melahirkan banyak pemimpin bangsa dan turut berjuang merebut kemerdekaan. Maka sangat tidak pantas jika lembaga seagung itu dijadikan bahan tontonan dengan framing negatif,” lanjutnya.
PB SEMMI mendesak pihak Trans7 untuk tidak berhenti pada permintaan maaf semata, tetapi mengambil langkah konkret untuk memulihkan citra pesantren di mata publik. Donny juga mengingatkan bahwa munculnya seruan boikot dari masyarakat adalah bentuk kekecewaan yang nyata dan harus segera ditangani agar tidak menimbulkan keresahan sosial.
Gelombang kritik terhadap Trans7 juga datang dari berbagai daerah. Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kota Batam, melalui salah satu pengasuhnya Ustadz Iman, mengecam keras tayangan yang dinilai melecehkan guru dan masyaikh dalam video tersebut.
“Kami minta pemerintah jangan tinggal diam. Jika ini dibiarkan, akan muncul anggapan bahwa pelecehan terhadap simbol keagamaan seperti pesantren adalah hal biasa. Ini berbahaya bagi moral publik dan citra media nasional,” tegas Ustadz Iman.
Nada serupa juga disampaikan oleh Ustadz Andre, dosen sekaligus pendidik di STIT Internasional Muhammadiyah Batam, yang menilai tayangan itu mencederai etika media.
“Pers seharusnya menjadi corong edukasi dan pencerahan, bukan alat provokasi yang merendahkan institusi pendidikan Islam. Kami berharap KPI dan pemerintah turun tangan,” ujarnya.
Desakan agar lembaga penyiaran lebih selektif dalam menayangkan konten kini semakin menguat. Dunia pesantren berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi media nasional agar lebih sensitif dan menghormati nilai-nilai budaya serta keagamaan yang hidup di tengah masyarakat Indonesia.(alif abdullah)